SURABAYA, - Sejumlah media mengabarkan bahwa pemerintah Taiwan menahan beberapa produk mie instan yang masuk dari lintas negara, termasuk Indonesia. Pasalnya, berdasar laporan dari Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, produk merek mie sedap memiliki kadar jumlah residu pestisida yang berlebihan. Namun, Dominikus Raditya Atmaka SGz MPH Ahli Gizi UNAIR mengimbau masyarakat Indonesia tidak perlu panik berlebihan.
Dominikus menjelaskan angka residu pestisida dalam mie instan sangat rendah. Bahkan lebih rendah daripada residu pestisida produk pertanian lain. Ia menjelaskan residu pestisida pada makanan biasanya bersumber dari lahan pertanian.
“Jadi, pestisida ini biasanya digunakan sebagai anti hama, anti patogen, dan lain-lain yang umum dipakai untuk meningkatkan kualitas produksi bahan makanan, ’’ ujar spesialis gizi klinis dan pengembangan produk makanan itu pada Senin (11/7/2022).
Terkait hal itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia (RI) telah mengatur Standar Nasional Indonesia (SNI) produksi makanan. Jadi, jika produsen suatu bahan makanan tidak mengikuti aturan atau secara tidak sengaja memiliki kandungan bahan berbahaya dalam makanan. Maka, BPOM akan menarik produk tersebut dari pasaran.
Untuk ambang batas residu pestisida-pun, kata Domi, telah ada aturannya dan berbeda-beda tergantung jenis makanannya. “Pada mie instan sebetulnya tidak ada statement khusus yang menyebutkan ambang batas pestisida. Karena, dalam pengolahan mie instan tidak melibatkan bahan turunan pestisida. Namun, dalam standar produksi makanan di negara lain biasanya tercantum dengan lebih detail, ” katanya.
Dilansir dari tempo.co, varian produk mie sedap di Taiwan yang terdeteksi mengandung residu pestisida karsinogen kelas 1 etilen oksida. Yakni, Sup Daging Sapi Instan Cup; Sup Ayam Instan Cup; Instant Cup Korean Spicy Soup; Instant Cup Korean Spicy Chicken; dan Sup Laksa Pedas Instan Cup. Hal tersebut terjadi karena standar produksi makanan yang ditetapkan di Indonesia berbeda dengan negara lain. Artinya, tergantung keketatan pengawasan dari badan pengawas makanan di negara tersebut.
Domi menyebut terdapat sejumlah negara yang pengawasan makanannya sangat ketat seperti Amerika, Jepang, dan Taiwan. Keketatannya pun bergantung dari kondisi kesehatan populasi di negara tersebut. “Misal di Jepang, populasi masyarakatnya cenderung sangat sehat. Tidak terlalu banyak mengkonsumsi gula, garam, dan minyak. Jadi, ya mereka (Red: otoritas FDA) sangat ketat mengawasi produksi makanan yang beredar di negaranya, ” kata dosen Gizi UNAIR itu.
Sementara itu, di Amerika tingginya angka alergi seperti alergi kacang, coklat, hingga makanan laut membuat FDA (BPOM) Amerika memperketat makanan yang dapat memicu alergi itu. Keketatan tersebut semata-mata untuk menjaga kesehatan masyarakat di negaranya.
Selanjutnya, menurut Badan Penelitian Kanker Internasional, paparan jangka panjang etilen oksida dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan kanker darah. Di samping itu, Domi menyatakan pestisida turunan kimiawi seperti organophospat memiliki kemampuan mengoksidasi seluler sehingga akan terbentuk kanker di sejumlah organ seperti kanker usus dan hati.
Walaupun BPOM sebelumnya telah meminimalkan pestisida dengan pengawasan dan pengujian secara berkala. Dominikus tetap menegaskan kepada masyarakat Indonesia agar bijak dalam mengonsumsi makanan.
“Iya meskipun residu pestisida dalam mie instan angkanya sangat rendah, sehingga minim masalah kesehatan. Tetapi konsumen harus tetap bijak dalam memilih dan mengkonsumsi makanan olahan agar dapat tercapai kondisi kesehatan yang maksimal, ’’ ucapnya. (*)