SURABAYA - Didampingi Jaksa Agung Burhanuddin, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD secara langsung meresmikan Balai Rehabilitasi Napza Adhyaksa di Jalan Gunung Puntang, Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan juga di resmikan Balai Rehabilitasi Adhyaksa secara serentak yakni di Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Untuk wilayah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Pusat Terapi dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa berada di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, yang juga di resmikan Kajati Jatim Dr. Mia Amiati dengan di tandai pengguntingan bunga oleh Kajati Jatim bersama sama Asisten I Setda Prov Jatim Drs. Benny Sampirwanto, Msi dan Direktur RSJ Menur drg. Fitria Dewi dengan di saksikan oleh Forpimda Prov Jatim atau yang mewakili, Jum'at (1/7/2022).
Menurut Kajati Jatim, Dr. Mia Amiati, hingga saat ini seluruh negara dan masyarakat internasional masih menghadapi musuh bersama (commnon enemy), yaitu penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam laporan terbarunya yang dirilis pada tanggal 24 Juni 2021 menyebutkan sekitar 275 juta orang di seluruh dunia menggunakan narkoba pada tahun 2020. Antara tahun 2010-2019, jumlah orang yang menggunakan narkoba meningkat sebesar 2%. Sementara secara global, jumlah pengguna narkoba diperkirakan akan meningkat 11% sampai tahun 2030.
Penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia telah menjadi masalah serius dan memprihatinkan. Narkotika merupakan bentuk ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius dan mendesak. Tantangan kian berat manakala masih banyak mitos dan informasi keliru tentang narkotika. Ditambah lagi kondisi wilayah Indonesia yang berpotensi menjadi sasaran daya tarik para pengedar narkotika, " paparnya.
Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN), pada tahun 2019 prevalensi pengguna narkoba di Indonesia sebesar 1, 80% atau 3, 41 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2021 sebesar 1, 95% atau 3, 66 juta jiwa, artinya terjadi peningkatan sebesar 0, 15%. Penyalahgunaan narkoba seperti halnya fenomena gunung es. Ini berarti jumlah penyalahguna yang nampak di permukaan lebih kecil dibanding dengan yang tersembunyi. WHO mencatat kasus yang tersembunyi di masyarakat yaitu kasus yang termasuk dark number jumlahnya sepuluh kali lebih banyak daripada kasus yang tampak di permukaan.
Penyalahgunaan narkoba pada masa pandemi Covid-19 justru meningkat. Orang yang stress akibat pandemi karena kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian akan dimanfaatkan oleh para pengedar narkoba untuk ikut terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Di Jawa Timur sendiri, data penanganan perkara tindak pidana narkoba selalu menonjol dibandingkan tindak pidana yang lain. Pada tahun 2020, jumlah SPDP yang diterima sebanyak 460 perkara, P-21 sebanyak 458 perkara, dan tahap II sebanyak 426 perkara. Pada tahun 2021, jumlah SPDP yang diterima sebanyak 368 perkara, P-21 sebanyak 356 perkara, dan tahap II sebanyak 341 perkara. Pada tahun 2022 sampai bulan Mei, jumlah SPDP yang diterima sebanyak 183 perkara, P-21 sebanyak 163 perkara, dan tahap II sebanyak 162 perkara.
Salah satu permasalahan penanggulangan narkoba yang masih dihadapi Indonesia saat ini adalah dilema penegakan hukum terhadap penyalahguna narkoba, yang mana pelakunya adalah korban. Banyak penyalahguna yang sejatinya merupakan korban (victim) dipenjarakan. Di satu sisi, hal ini tentunya menyebabkan penjara menjadi penuh (over capacity) yang didominasi oleh pelaku penyalahguna narkoba. Menurut data, jumlah penghuni lapas mengalami overcrowded, dengan 50% atau sekitar 250.000 merupakan pelaku tindak pidana narkoba.
Di sisi yang lain, penyalahguna yang merupakan korban sejatinya memerlukan penanganan fisik dan mental sebagai dampak buruk narkoba atau rehabilitasi. Penahanan penyalahguna narkoba akan menambah daftar panjang penghuni lapas jika sistem rehabilitasi belum dilaksanakan dalam penanganan perkara penyalahgunaan narkoba.
Isu overcrowding ini telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif.
Oleh karenanya dibutuhkan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang penuntutan tersebut dilakukan melalui optimalisasi lembaga rehabilitasi. Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan azas dominus litis dapat menyelesaikan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif, dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid), serta mempertimbangkan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, azas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan keadilan restoratif, menjadi bagian dari komitmen dan ijtihad Kejaksaan dalam rangka memanusiakan manusia, khususnya bagi penyalahguna narkotika, untuk menjadi manusia yang lahir kembali, sehat jasmani dan rohani, menjadi warga negara Indonesia yang bermartabat.
Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia, telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Azas Dominus Litis Jaksa.
Keadilan restoratif bagi penyalahguna narkotika menjadi bukti bahwa negara dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap seluruh warga negaranya tak terkecuali bagi penyalahguna narkotika, yang perlu mendapatkan penanganan dan perawatan yang tepat dengan pemberian rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pembentukan Balai Rehabilitasi Adhyaksa merupakan bukti konkrit dan wujud nyata Kejaksaan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap penyalahguna narkotika melalui perspektif keadilan restoratif untuk mencari penyelesaian yang adil dan penanganan yang terbaik yaitu menyembuhkan dan memulihkan kembali penyalahguna narkotika pada keadaan semula sebagai seorang manusia yang sehat dan mampu menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya, " pungkas Kajati Jatim, Dr. Mia Amiati. (*)